MENU

Laskar juang Thalhah bin Ubaidillah

Laskar juang Thalhah bin Ubaidillah

Dini Febria Qisthy

 

Selamat pagi semuanya. Tidak mengapa jika waktu membaca tulisan ini bukanlah pagi yang dimaksudkan, namun bagiku waktu selalu pagi. Pagi dimana matahari mampu tersenyum dengan anggunnya bersandar pada langit putih. Pagi dimana awan lembut berusaha menepi mempersilakan perkasanya penguasa sinar di seluruh penjuru dunia. Pagi dimana jalan cendana dipenuhi mobil dan motor berbeda kepentingan. Pagi dimana sebuah mimpi siap untuk diukir kembali. Pagi dimana ternyata sinar mataharipun terkalahkan! Terkalahkan oleh sorot mata berbinar dan pelukan hangat mereka, terkalahkan oleh senyuman tulus dengan wajah siap menerima apapun yang akan kusuguhkan. Pagi yang akan selalu kunantikan ketika malam gelap menghantui.
***

 

Matahari tersenyum malu-malu di ufuk timur; hangat sekali. Sinar kuningnya tepat jatuh di atap-atap rumah manusia yang sudah siap dengan aktivitas permulaan minggu ini. Senin yang menyenangkan, batinku. Perlahan kumasuki bangunan hijau orange yang konon katanya seluas satu setengah hektar itu dengan segenap shalawat nabi dan doa yang sudah kupelajari sebagai penenang. Jujur ini lebih gugup jika dibandingkan sidang skripsi. Bismillah!

Anak-anak berlarian memakai baju putih bawahan merah layaknya seragam sekolah dasar yang lain, tapi ada rompi dibagian luar yang membedakan mereka sekaligus membuat mereka menjadi lebih rapi. Terlihat di sebelah kanan jalan menuju pintu gedung sekolah telah berdiri cantik Ibu-ibu menyambut putra-putri terbaik mereka. Senyum tulus dan ucapan salam untuk siapa saja yang berjalan melewati mereka, termasuk aku. Sedetik hatiku bergetar.

Pada pagi itu kupetik hikmah dari beberapa potongan kejadian singkat di sekolah ini. Mungkin potongannya tidak utuh, tapi tetap akan kucoba rangkai menjadi pelajaran bermakna. Akan kukumpulkan potongan hikmah itu disetiap Seninnya.
Pagi itu upacara bendera. Upacara memang sudah menjadi sarana mengenang para
pahlawan bangsa yang sudah berjuang demi kemerdekaan negeri ini. Kegiatan pagi Senin itu terasa lebih dalam bagiku yang tidak ikut berdiri di halaman sekolah. 

Mungkin karena tidak kepanasan dan alasan paling tepatnya adalah sudah sangat lama aku tidak menyaksikan seremoni kenaikan bendera. Dari balik pintu kaca transparan kusaksikan wajah-wajah bahagia bercampur lelah karena kepanasan di bawah sinaran matahari pagi, dan hati-hati yang membatin semoga upacara ini cepat berakhir.

“Baiklah, level 2 boleh masuk ke kelas”, sayup terdengar suara salah seorang guru di luar sana. Hanya selang beberapa detik, puluhan anak menyerbu kelas dan memulai keributan yang sudah tertahan sejak tadi. Upacara sudah selesai, artinya proses belajar mengajar akan segera dimulai. Belum sempat membayangkan bagaimana nasibku setelah ini, seorang Ibu ramah dan baik hati mengajakku berjalan menuju salah satu ruangan di lantai satu. Kelas! Tempat dimana akan kuhabiskan waktu selama 5 hari dalam seminggu dari jam 07.15 – 15.15. Hingga mataku berhenti pada suatu nama.

Thalhah bin Ubaidillah.
Ia adalah seorang pemuda Quraisy yang memilih profesi sebagai saudagar yang dermawan. Beliau mendapat gelar “Assyahidul Hayy”, manusia yang berpredikat syahid padahal masih hidup. Selain itu, Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah seorang sepuluh orang pertama yang masuk Islam. Dalam hidupnya, ia memiliki tujuan utama yaitu bermurah dalam pengorbanan jiwa.
 
Percayalah setelah baris kata ini, bisa dipastikan tidak akan kita lanjutkan membahas mengenai sahabat Nabi Muhammad yang sangat luar biasa ini. Pembahasan ini akan kita alihkan sedikit, kepada mereka yang juga dermawan yang selalu mengisi piring berbagi dengan aneka kue yang mereka bawa, kepada mereka yang juga murah dalam pengorbanan jiwa seperti merapikan lemari buku, menurunkan kursi teman yang masih di atas meja, bahkan menyapu kelas yang berantakan lalu duduk tertib untuk belajar kembali. Kunamai mereka laskar juang Thalhah bin Ubaidillah!
***


Sepagi itu, masih jelas bagaimana kucoba menguatkan kaki menegarkan hati memasuki kelas berjudul Thalhah bin Ubaidillah tersebut. Jutaan ketakutan berkelabat di kepala ku, takut mereka tidak menyukaiku, takut mereka akan langsung berontak tidak mau diajar oleh guru baru; aku. Ketakutan ini sangat beralasan, karena menurutku belajar adalah proses ridho- meridhoi. Siswa ridho diajar oleh gurunya, dan tentu gurunya pun ridho mentransfer ilmu kepada siswanya. Jadi ketika ada satu bagian saja yang tidak singkron, maka proses belajar mengajar tidak akan menuai hasil maksimal.

Sekujur aku yang terpaku dikagetkan oleh sapaan yang hingga saat ini dan kapanpun akan menjadi sapaan yang kurindukan. “Ustadzah!”. Setelah sapaan manis itu, semuanya mengalir apa adanya, hingga aku tidak dapat mengingat kronologi hari pertama yang indah itu. Mereka 21 anak-anak terbaik, yang mampu memahami keadaan dengan lebih bijak. Mereka memperlakukanku layaknya guru-guru mereka yang lain. Mereka memanggilku dengan panggilan yang sama, cara yang sama, intonasi yang sama dan ketulusan yang sama. Tidak terdeteksi olehku dari sorot mata mereka untuk memperlakukanku dengan gaya berbeda. Entah mengapa pada saat itu aku merasa menjadi orang yang sangat beruntung, dipertemukan dengan anak-anak hebat seperti mereka.

Siang itu terlihat salah seorang dari mereka memegang matanya sangat lama, ternyata ia menangis. Waktu itu aku masih baru dan masih dalam tahap orientasi, maka dari itu tak banyak yang bisa kulakukan untuk mengatasi air mata tersebut. Wali kelas menghampiri siswa yang menangis itu kemudian dengan penjelasan yang mengagumkan permasalahan selesai dan tangisan itu reda. Bagaimana bisa? Mari kita usut dari inti permasalahannya. Anak ini, sebut saja Ali, menangis karena temannya berbicara agak keras kepadanya; marah. Ali merasa sedih ketika nada suara temannya terdengar kurang bersahabat, kemudian dia menangis.

Sayup terdengar olehku, ternyata Ali terlebih dahulu membuat temannya ini tidak nyaman. Sesaat kemudian sang wali kelas menjelaskan suatu teori yang belum kutemui selama ini, “Bahwa setiap orang berhak marah ketika dia tidak suka terhadap apa yang orang lain lakukan kepadanya, tapi tidak menyakiti temannya tersebut”. Tidak ada yang melarang manusia untuk mengekspresikan apa yang dirasakannya, termasuk marah. Asalkan tidak merugikan orang lain, seperti menyakiti fisik.

Luar biasa! Mereka tidak diajarkan untuk saling menyalahkan. Bahkan yang merasa
terintimidasipun tidak akan mendapatkan pembelaan ketika mereka salah. Memberikan pengertian adalah solusi terbaik sampai akhirnya mereka berjabat tangan dan saling memaafkan satu sama lain. Sehari bersama mereka, aku resmi mendapatkan jawaban atas pertanyaan burukku.

“Mengapa anak-anak kecil ini mampu berpikir luar biasa?”. Jawabannya tidak jauh dari selemparan batu saja, “karena mereka diajar oleh guru-guru yang luar biasa, karena mereka dididik oleh orang tua yang mendukung sistem sekolah ini. Jika kedua elemen ini tidak melakukan tugasnya dengan baik, maka mustahil akan kita dapati generasi baik untuk masa depan.
 
Mereka diajarkan membaca dan mencintai Al-Quran tapi tidak meninggalkan ilmu tekonologi, mereka diajarkan cara sholat tapi tidak melupakan cara menggunakan computer, mereka diajarkan oleh sistem yang berintegrasi Islam. Dari kelas 1 mereka sudah dilatih untuk menjadi imam, menjadi leader yang merupakan pembelajaran yang sangat berguna untuk masa depan. Mereka diajarkan untuk menghormati guru, menyayangi teman dan mematuhi orang tua. Mereka diajak untuk selalu menggunakan 3 kata ajaib, “Maaf, Tolong, dan Terimakasih”. 

Mereka diajarkan untuk berbagi sebelum diminta, menolong sebelum diseru, berwudhu dengan benar, sholat dengan khusyu’ dan berdoa dengan menundukkan kepala menampungkan tangan, menghabiskan makanan, membersihkan lantai yang mereka kotori, dan hal lain yang terkadang terlihat simple tapi sulit untuk orang dewasa lakukan. Mereka dibiasakan untuk mandiri, tidak untuk menjadi anak manja yang tidak bisa apa-apa. Iya! Mereka dididik untuk menjadi “khalifah fil ardh”.

Anakku, izinkan kukutip satu bait kalimat dari buku terbaik karangan Ahmad Fuadi berikut ini; “Beruntunglah kalian sebagai penuntut ilmu karena Tuhan memudahkan jalan kalian ke surga, malaikat membentangkan sayap buat kalian, bahkan penghuni langit dan bumi sampai ikan paus di lautan memintakan ampun bagi orang yang berilmu. Reguklah ilmu di sini dengan membuka pikiran, mata dan hati kalian”. Yap! Bersungguh-sungguhlah belajar disini, karena proses tidak akan pernah menghianati hasil. Man Jadda Wajada!

Setelah ini, waktu akan terus berjalan tanpa bisa dihentikan dan hidup akan terus dijalani sebagaimana mestinya tanpa kita tau ujungnya. Kita semua akan beranjak dari kelas ini menuju level selanjutnya; beranjak meninggalkan jutaan kenangan yang sudah kita ukir bersama. Dan naifnya aku sudah terlalu nyaman. Menahan mereka? Tentu itu bukan keputusan yang bijak. Semoga kesuksesan selalu mengiringi, hanya bait-bait merdu menuju langit yang akan selalu kami senandungkan untuk generasi hebat seperti kalian.

Terimakasih telah ajarkan banyak hal. Ya, akupun belajar dari mereka, belajar menerima perbedaan, belajar memahami persamaan, dan belajar memaknai satu kata dari sisi yang berbeda. Terima kasih tulus sekali lagi. Rajinlah belajar, bahagiakan orang tua. Dan hari ini aku kembali jatuh hati. Dengan kesadaran penuh kubangun cinta di sekolah ini; di kelas ini.

Terakhir, betapa inginnya kami agar kalian mengetahui, bahwa kalian lebih kami cintai dari pada diri kami sendiri. Laskar juang Thalhah bin Ubaidillah, selamat naik level!***

KOMENTAR